Pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup di Indonesia relatif
belum lama dan baru dirintis menjelang Pelita III. Namun demikian, dalam
waktu yang pendek itu Indonesia telah banyak berbuat untuk mulai
mengelola lingkungan hidupnya. Hasil utama pengembangan lingkungan hidup
ini nampak pada munculnya kesadaran dan kepedulian di kalangan
masyarakat. Antara lain nampak dalam peningkatan upaya swadaya
masyarakat seperti tercermin dalam kegiatan nyata dan keterlibatan
masyarakat umum dalam memecahkan masalah pencemaran di daerah. Padahal,
20 tahun sebelumnya, istilah lingkungan hidup itu sendiri belum begitu
dikenal.
Konsep dan kebijakan lingkungan hidup selama Pembangunan Jangka
Panjang (PJP) Pertama mengalami perkembangan yang sangat berarti. Selama
Pelita III bidang lingkungan hidup ditangani oleh Menteri Negara
Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (Men-PPLH) dengan prioritas
pada peletakan dasar-dasar kebijaksanaan “membangun tanpa merusak”,
dengan tujuan agar lingkungan dan pembangunan tidak saling
dipertentangkan.
Pada Pelita IV, bidang lingkungan hidup berada di bawah Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH), dengan prioritas
pada keserasian antara kependudukan dan lingkungan hidup. Pada Pelita V
kebijaksanaan lingkungan hidup sebelumnya disempurnakan dengan
mempertimbangkan keterkaitan tiga unsur, antara kependudukan, lingkungan
hidup dan pembangunan guna mewujudkan konsep pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan hanya terlanjutkan dari generasi ke generasi apabila
kebijaksanaan dalam menangani tiga bidang tersebut selalu dilakukan
secara serasi menuju satu tujuan. Bila lingkungan dan sumber daya alam
tidak mendukung penduduk dan menunjang sumber daya manusia atau
sebaliknya, maka pembangunan mungkin saja dapat berjalan, namun dengan
risiko timbulnya ancaman pada kualitas dan daya dukung lingkungan.
Kebijaksanaan dasar yang bertumpu pada pembangunan berkelanjutan ini
akan tetap menjadi pegangan dalam pengelolaan lingkungan hidup pada
Pelita VI dan pelita-pelita selanjutnya.
Pada pelita VI, bidang lingkungan hidup secara kelembagaan terpisah
dari bidang kependudukan dan berada di bawah Menteri Negara Lingkungan
Hidup (Men-LH). Lingkungan hidup dirasakan perlu ditangani secara lebih
fokus sehubungan dengan semakin luas, dalam dan kompleksnya tantangan
pada era industrialisasi dan era informasi dalam PJP Kedua (yang dimulai
pada Pelita VI). Lintas sejarah perkembangan pengelolaan lingkungan
hidup di Indonesia diuraikan menjadi tiga babak, yakni masa tumbuhnya
Arus Global 1972, munculnya Komitmen Internasional, dan Komitmen
Nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, serta Pasca
Reformasi.
ARUS GLOBAL PRA-1972
Periode ini menandai daya tanggap dan cikal bakal bangkitnya
kesadaran lingkungan Indonesia menyongsong konferensi Lingkungan Hidup
Sedunia I di Stockholm, Swedia pada bulan Juni 1972, ketika pembangunan
nasional memasuki Pelita Pertama (1969-1974), Indonesia belum mengenal
lembaga khusus yang menangani masalah lingkungan hidup. Dengan demikian
perhatian terhadap masalah mulai nampak sebagaimana terlihat pada
peraturan perundangan yang disusun beserta kebijaksanaan dan program
sektoral yang dihasilkan selama periode tersebut.
Peraturan perundangan itu sudah memuat ketentuan yang mengatur
pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dengan mempertimbangkan
aspek konservasinya. Selain itu konsepsi serta kebijaksanaan
pengembangan wilayah yang dianut sektor juga sudah memasukan
pertimbangan lingkungan. Akan tetapi pendekatan yang dilakukan masih
bersifat sektoral dengan perhatian terhadap aspek pengelolaan lingkungan
yang masih belum memadai.
Sementara itu, perhatian terhadap lingkungan hidup dikalangan
perguruan tinggi dirintis oleh Universitas Padjadjaran Bandung melalui
pendirian Lembaga Ekologi pada tanggal 23 September 1972. Sebagai
persiapan menghadapi konferensi Stockholm, pada tanggal 15-18 Mei 1972
diselenggarakan seminar tentang “Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Pembangunan Nasional” oleh Universitas Padjadjaran di Bandung. Seminar
itu membahas “Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Manusia : Beberapa
Pikiran dan Saran”. Hasilnya dijabarkan ke dalam Country Report RI dan
disampaikan pada konferensi itu. Sebelumnya, Menteri Negara Penertiban
Aparatur Negara (Men-PAN) telah mengadakan rapat Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Pencegahan.
KOMITMEN INTERNASIONAL (1972)
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Sedunia yang diselenggarakan
pada bulan Juni 1972 di Stockholm, Swedia, dapat dianggap sebagai
pengejawantahan kesadaran masyarakat internasional akan pentingnya kerja
sama penanganan masalah lingkungan hidup dan sekaligus menjadi titik
awal pertemuan berikutnya yang membicarakan masalah pembangunan dan
lingkungan hidup. Konferensi Stockholm dengan motto Hanya Satu Bumi itu
menghasilkan deklarasi dan rekomendasi yang dapat dikelompokkan menjadi
lima bidang utama yaitu permukiman, pengelolaan sumber daya alam,
pencemaran, pendidikan dan pembangunan.
Deklarasi Stockholm menyerukan perlunya komitmen, pandangan dan
prinsip bersama bangsa-bangsa di dunia untuk melindungi dan meningkatkan
kualitas lingkungan hidup umat manusia. Konsep lingkungan hidup manusia
yang diperkenalkan menekankan perlunya langkah-langkah pengendalian
laju pertumbuhan penduduk, menghapuskan kemiskinan dan menghilangkan
kelaparan yang diderita sebagian besar manusia di negara berkembang.
Konferensi Stockholm mulai berupaya melibatkan seluruh pemerintah di
dunia dalam proses penilaian dan perencanaan lingkungan hidup,
mempersatukan pendapat dan kepedulian negara maju dan berkembang bagi
penyelamatan bumi, menggalakkan partisipasi masyarakat serta
mengembangkan pembangunan dengan pertimbangan lingkungan.
Sehubungan dengan hal tersebut, Konferensi Stockholm mengkaji ulang
pola pembangunan konvensional yang selama ini cenderung merusak bumi
yang berkaitan erat dengan masalah kemiskinan, tingkat pertumbuhan
ekonomi, tekanan kependudukan di negara berkembang, pola konsumsi yang
berlebihan di negara maju, serta ketimpangan tata ekonomi internasional.
Indonesia hadir sebagai peserta konferensi tersebut dan turut
menandatangani kesepakatan untuk memperhatikan segi-segi lingkungan
dalam pembangunan.
Sebagai tindak lanjutnya, berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1972
Indonesia membentuk panitia interdepartemental yang disebut dengan
Panitia Perumus dan Rencana Kerja Bagi Pemerintah di Bidang Lingkungan
Hidup guna merumuskan dan mengembangkan rencana kerja di bidang
lingkungan hidup. Panitia yang diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim selaku
Men-Pan/Wakil Ketua Bappenas tersebut berhasil merumuskan program
kebijaksanaan lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam Butir 10 Bab
II GBHN 1973-1978 dan Bab 4 Repelita II. Keberadaan lembaga yang khusus
mengelola lingkungan hidup dirasakan mendesak agar pelaksanaan
pengelolaan lingkungan hidup baik di tingkat pusat maupun di daerah
lebih terjamin.
Tiga tahun kemudian, Presiden mengeluarkan Keppres No. 27 Tahun 1975.
Keppres ini merupakan dasar pembentukan Panitia Inventarisasi dan
Evaluasi Kekayaan Alam dengan tugas pokoknya adalah menelaah secara
nasional pola-pola permintaan dan persediaan serta perkembangan
teknologi, baik di masa kini maupun di masa mendatang serta implikasi
sosial, ekonomi, ekologi dan politis dari pola-pola tersebut.
Dalam periode ini telah dilakukan persiapan penyusunan perangkat
perundangan dan kelembagaan yang menangani pengelolaan lingkungan hidup.
Penyusunan RUU Lingkungan Hidup telah dimulai pada tahun 1976 disertai
persiapan pembentukan kelompok kerja hukum dan aparatur dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pada periode ini
beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan lingkungan dihasilkan
oleh berbagai instansi sektoral.
Di sejumlah perguruan tinggi, perhatian terhadap lingkungan hidup
juga mulai berkembang antara lain dengan dibentuknya lembaga yang
bergerak di bidang penelitian masalah lingkungan, yakni Pusat Studi dan
Pengelolaan Lingkungan IPB dan Pusat Studi Lingkungan ITB. Pengelolaan
lingkungan hidup pada periode ini masih berupa langkah awal pemantapan
kemauan politik sebagai persiapan untuk mewujudkan gagasan-gagasan dari
Konferensi Stockholm tersebut. Belum adanya lembaga khusus serta
perangkat peraturan perundangan yang menangani masalah lingkungan secara
komprehensif merupakan kendala yang perlu penanganan segera pada waktu
itu.
KOMITMEN POLITIK NASIONAL
Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (1978-1983)
Untuk melaksanakan amanat GBHN 1978, maka berdasarkan Keppres No. 28
Tahun 1978 jo. Keppres No. 35 Tahun 1978, dalam Kabinet Pembangunan III
diangkat Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup
(Men-PPLH) dengan tugas pokok mengkoordinasikan pengelolaan lingkungan
hidup di berbagai instansi pusat maupun daerah, khususnya untuk
mengembangkan segi-segi lingkungan hidup dalam aspek pembangunan.
Sedangkan tugas pertamanya adalah mempersiapkan perumusan
kebijaksanaan pemerintah mengenai pelaksanaan pengawasan pembangunan dan
pengelolaan serta pengembangan lingkungan hidup. Jabatan Menteri
dipegang oleh Prof.Dr.Emil Salim. Dalam upaya memantapkan koordinasi
pengelolaan lingkungan di daerah, Menteri Dalam Negeri menindaklanjuti
dengan menetapkan Keputusan Mendagri No. 240 Tahun 1980 tentang
Organisasi dan Tatakerja Sekretariat Wilayah/Daerah Tingkat I dan
Sekretariat DPRD Tingkat I yang di dalamnya terdapat Biro Kependudukan
dan Lingkungan Hidup.
Salah satu produk hukum terpenting yang dihasilkan selama periode
PPLH adalah ditetapkannya UU No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup . UU ini
merupakan landasan berbagai ketentuan dan peraturan mengenai masalah
pengelolaan lingkungan hidup seperti perlindungan, pelestarian dan
pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup, analisis mengenai
dampak lingkungan, baku mutu lingkungan dan lain-lain.
Penanganan masalah lingkungan hidup menuntut pengkajian dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pendukungnya. Untuk itu,
pada tahun 1979 dibentuk Pusat Studi Lingkungan (PSL) yang tersebar di
berbagai perguruan tinggi Meskipun secara struktural tetap di bawah dan
bertanggung jawab pada universitasnya masing-masing, PSL memiliki peran
yang sangat besar dalam pendidikan lingkungan hidup. Hampir semua
pendidikan AMDAL dilakukan PSL di bawah koordinasi Men-PPLH (yang
kemudian menjadi Men-KLH). PSL juga banyak membantu di bidang
penelitian.
Pada periode PPLH pula, yakni pada 1981, penghargaan Kalpataru mulai
diperkenalkan. Penghargaan dengan lambang “Pohon Kehidupan” ini
diberikan kepada masyarakat yang memelihara lingkungan hidup dengan
kesadaran sendiri tanpa mengharapkan imbalan dan prestasinya dinilai
luar biasa.
Pemberian Kalpataru biasanya dilakukan pada saat puncak peringatan
Hari Lingkungan Hidup, tanggal 5 Juni setiap tahunnnya mengikuti
ketentuan dari UNEP (United Nations Environment Programme). Dalam bidang
pengawasan, Men-PPLH telah melakukan pemantauan terhadap tidak kurang
dari 5.000 proyek pembangunan sehingga meningkatkan efisiensi pada BUMN,
merumuskan sebuah konsep sistem pengawasan pembangunan terpadu, dan
terbentuknya sistem pengawasan melekat. Periode ini disebut sebagai
pancawarsa pengawasan pembangunan dan lingkungan hidup. Berbagai
kekurangan dan kelemahan masih dihadapi, baik dalam hal kebijaksanaan
kelembagaan dan peraturan perundangan, sumber daya manusia maupun
pendanaan .
Kantor Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup (1983-1993)
UU No. 4 Tahun 1982 antara lain menggariskan bahwa manusia dan perilakunya merupakan komponen lingkungan hidup. Karena itu, perlu adanya perpaduan antara aspek kependudukan ke dalam pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itu, berdasarkan Keppres No. 25 Tahun 1983 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dibentuklah Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH) dengan menterinya adalah Prof. Dr. Emil Salim.
UU No. 4 Tahun 1982 antara lain menggariskan bahwa manusia dan perilakunya merupakan komponen lingkungan hidup. Karena itu, perlu adanya perpaduan antara aspek kependudukan ke dalam pengelolaan lingkungan hidup. Untuk itu, berdasarkan Keppres No. 25 Tahun 1983 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dibentuklah Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Men-KLH) dengan menterinya adalah Prof. Dr. Emil Salim.
Pada periode KLH ini, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 29
Tahun 1986 tentang AMDAL yang merupakan pedoman pelaksanaan suatu proyek
pembangunan. Setiap proyek yang diperkirakan memiliki dampak penting
diharuskan melakukan studi analsis mengenai dampak lingkungan. Sementara
itu, kegiatan pembangunan yang makin pesat disertai makin meningkatnya
dampak terhadap lingkungan menuntut dibentuknya sebuah badan yang lebih
bersifat operasional.
Berdasarkan Keppres No. 23 Tahun 1990 dibentuk Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan (Bapedal) yang bertugas melaksanakan pemantauan dan
pengendalian kegiatan-kegiatan pembangunan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup. Pusat Studi Kependudukan (PSK) dan PSL
ditumbuhkembangkan bukan hanya di perguruan tinggi negeri, tetapi juga
di perguruan tinggi swasta. Saat itu tercatat 35 PSK dan 67 PSL yang
tersebar di berbagai perguruan tinggi di seluruh tanah air. Keberadaan
PSK dan PSL di setiap provinsi diharapkan akan dapat membantu pemerintah
daerah dalam menangani persoalan lingkungan di daerahnya sesuai dengan
karakteristik sosial, ekonomi, budaya dan biogeofisik setempat.
Keragaman ini juga akan memperkaya khazanah bagi pengelola lingkungan
di tingkat pusat yang pada gilirannya berguna dalam pengembangan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup. Pengembangan
kelembagaan disertai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia
dilakukan melalui jalur pendidikan, khususnya pendidikan kependudukan
dan lingkungan hidup, kursus-kursus dan pelatihan serta pengembanan
sistem dan penyebaran informasi kependudukan dan lingkungan hidup.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini tidak hanya terbatas pada
aparat lembaga pemikir dan pengelola lingkungan, melainkan juga kepada
aparat pendidik bahkan LSM serta masyarakat luas.
Pendidikan bagi aparatur pemerintah terutama ditujukan bagi mereka
yang terlibat langsung dalam penanganan masalah kependudukan dan
lingkungan hidup seperti staf Kantor KLH, staf Bapedal, staf Biro KLH
Tingkat I, Bappeda, Komisi AMDAL pusat dan daerah serta aparat penegak
hukum.
Program ini telah menghasilkan 72 orang sarjana program Strata 2
(Magister) dan 9 orang dalam program Strata 3 (Doktoral) di bidang
kependudukan dan non-kependudukan. Saat iti, rata-rata Biro KLH memiliki
9 sarjana, bahkan di Jawa rata-rata lebih dari 15 sarjana. Seiring
dengan upaya di atas, dilakukan pula pengembangan kemampuan bagian
kependudukan di Biro KLH Propinsi, penataan sistem dan pelatihan
registrasi penduduk sampai tingkat tenaga lapangan pada 54 di tingkat
kabupaten/kota II di 15 propinsi.
Di samping jalur pendidikan formal, pendidikan kependudukan dan
lingkungan hidup dilaksanakan melalui program TOT (training of trainers)
bagi para dosen di perguruan tinggi negeri maupun swasta dengan tujuan
menambah wawasan para dosen tersebut. Sejak tahun 1991/1992 sampai
dengan 1992/1993 sejumlah 152 orang dosen perguruan tinggi negeri dan
swasta telah mengikuti program ini. Kursus-kursus AMDAL di PSL di
berbagai perguruan tinggi di Indonesia mulai diselenggarakan tahun 1982.
Kursus ini pada umumnya diselenggarakan melalui kerjasama antara
perguruan tinggi, Kantor KLH dan Bapedal.
Di bidang kependudukan, telah dilakukan pengembangan PSK. Penanaman
wawasan lingkungan kepada para guru telah pula dilakukan melalui
Penataran Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup bagi guru SD, SMP
dan SMA pada tahun 1989/1990 hingga 1992/1993 di 27 Provinsi di
Indonesia bekerjasama dengan Depdikbud. Sejumlah 5.108 guru telah
mengikuti penataran tersebut yang terdiri atas 2.330 guru SD, 1.410 guru
SMP dan 1.368 guru SMA. Di samping itu, sebanyak 4.600 orang kepala
sekolah SMP dan SMA telah mengikuti penataran serupa.
Pada Pelita V tahun 1989/1990 hingga 1992/1993 materi kependudukan
dan lingkungan hidup telah dimasukkan ke dalam kurikulum penjenjangan
tingkat Sepada, Sepala, Sepadya dan Sespa pada pendidikan dan latihan
Lembaga Adminsitrasi Negara (LAN).
Pada periode ini, seperangkat peraturan perundangan sebagai
pelaksanaan lebih lanjut dari UU No. 4 Tahun 1982 telah dihasilkan
termasuk keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh berbagai departemen
yang berupa Pedoman dan Petunjuk Teknis. Ketika Kabinet Pembangunan IV
berakhir dan memasuki Kabinet Pembangunan V, status Men-KLH tetap
dipertahankan, dan Prof. Dr. Emil Salim diangkat kembali menjadi
menterinya. Dalam Periode KLH 1988-1993 ini yang nampak gencar dilakukan
adalah pemasyarakatan pembangunan berkelanjutan dan seluruh bidang
kegiatan kependudukan dan lingkungan hidup pada periode tersebut
ditujukan untuk menopang pembangunan berkelanjutan ini juga berkaitan
dengan penyelenggaraan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup dan
Pengembangan atau yang lebih popular dengan sebutan Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992.
Hasil-hasil dari konferensi ini sangat menekankan perlunya konsep
pembangunan berkelanjutan untuk menjamin pemanfaatan sumber daya alam
tidak hanya untuk pembangunan di masa sekarang, melainkan juga untuk
generasi yang akan datang. Di dalam periode ini pula, muncul gagasan
bahwa kependudukan dan lingkungan hidup merupakan dua aspek yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Perubahan di bidang kependudukan sangat
berpengaruh dalam bidang lingkungan hidup. Demikian pula sebaliknya,
lingkungan dituntut untuk selalu memiliki daya dukung bagi kehidupan.
Karena itu, kebijaksaan yang dikembangkan dalam bidang kependudukan
berbeda dengan periode sebelumnya.
Masalah kependudukan tidak hanya dilihat dari segi demografi
semata-mata (seperti: fertilitas, mortalitas dan migrasi) melainkan
lebih menekankan pada unsur kualitas. Penduduk yang banyak tidak
selamanya dapat dianggap sebagai beban. Kalau berkualitas, mereka dapat
dijadikan modal pembangunan. Dalam kebijaksanaan tersebut, dijelaskan
pula bahwa masalah kependudukan dipengaruhi pula oleh factor lingkungan
hidup. Karena itu pengelolaan lingkungan hidup dilakukan sedemikian rupa
sehingga daya dukungnya dapat dipertahankan baik melalui pengaturan
tata ruang, penerapan AMDAL. Rahabilitasi lingkungan seperti Program
Kali Bersih (PROKASIH), maupun pemanfaatan keanekaragaman hayati.
Penegakan hukum mulai dikembangkan dalam periode ini, terutama sejak
Pelita V, dengan mulai dirintisnya kerjasama dengan Kepolisian dan
Kejaksaan Agung. Kasus-kasus penindakan terhadap industri yang mencemari
lingkungan sudah banyak dilakukan terutama yang berkaitan dengan
pelaksaaan PROKASIH.
Produk hukum penting yang dihasilkan selama periode KLH 1988-1993 ini
antara lain di bidang kependudukan, RUU Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera telah disahkan DPR pada 21 Maret 1992,
yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 10 Tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera pada
tanggal 6 April 1992.
Sedangkan di bidang lingkungan hidup, telah dikeluarkan PP No. 20
Tahun 1990 tentang Baku Mutu Lingkungan dan disetujuinya RUU Penataan
Ruang di DPR. Men-KLH juga mengeluarkan Keputusan Menteri No. 03 Tahun
1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair. Seperti periode sebelumnya, berbagai
kelemahan masih dihadapi baik dalam hal kebijaksanaan, kelembagaan dan
peraturan perundangan, sumber daya manusia maupun pendanaan. Hal ini
bukan dikarenakan kegagalan pembangunan di sektor lingkungan hidup ini,
melainkan cenderung disebabkan karena semakin luas, intensif dan
kompleksnya permasalahan lingkungan yang dihadapi bersamaan dengan makin
pesatnya kegiatan pembangunan selama periode dasawarsa KLH tersebut.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993-1998)
Masalah kependudukan dan lingkungan hidup cenderung menjadi makin
luas dan kompleks sejalan dengan makin pesatnya laju kegiatan
pembangunan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat khususnya pada
pembangunan jangka panjang kedua (PJP II). Ketika proses industrialisasi
mulai dilaksanakan secara besar-besaran. Karena itu dipandang perlu
membentuk lembaga kementerian yang khusus bertugas menangani dan
mengkoordinir pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Untuk itu pada
tahun 1993 dibentuklah Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (Men-LH),
dengan Ir. Sarwono Kusumaatmadja sebagai menterinya. Agar pengelolaan
lingkungan hidup lebih fokus, pada era ini kependudukan dikeluarkan dari
lembaga pengelola lingkungan, dan atribut baru yang disandang adalah
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Pada awal periode ini berhasil diselenggarakan Rakornas I Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan 1994. Rakornas tersebut
membahas dan merumuskan Kebijaksanaan dan Strategi Nasional Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua
(1994/1995-2019/2020). Perumusan kebijaksanaan dan strategi nasional ini
ditujukan untuk mengantisipasi kemungkinan penurunan kualitas
lingkungan hidup di masa mendatang sehubungan titik berat pembangunan
PJP II pada bidang industri.
Hasil penting dari Rakornas I tersebut adalah munculnya strategi dan
kebijaksanaan satu pintu dan Sasaran Repelita Tahunan (SARLITA). SARLITA
merupakan penjabaran dari program Repelita yang diharapkan dapat
menjadi acuan pokok dalam penyusunan dan penilaian rencana kegiatan
pembangunan tahunan, khususnya yang dibiayai oleh APBN. Penyusunan
SARLITA Daerah sektor lingkungan hidup dilakukan oleh masing-masing
provinsi sehingga diharapkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
setempat.
Selama kurun waktu 1994/1995 Kantor Men-LH turut menyusun program
legislasi nasional yang dikoordinasikan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional (BPHN). Beberapa usulan yang disampaikan oleh Kantor Men-LH
tentang program legislasi nasional adalah RUU Penyempurnaan UU No. 4
Tahun 1982, RUU Penataan Ruang Kelautan, RPP Tata Cara Penetapan dan
Pembayaran Biaya Pemulihan Lingkungan, Tata Cara Pengaduan, Penelitian
dan Penuntutan Ganti Rugi, Pengendalian Perusakan Lingkungan,
Pengendalian Pencemaran Udara, Laut, Kebisingan dan Tanah. Periode ini
merupakan pancawarsa menuju pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan dengan perhatian utama diarahkan pada upaya pembinaan
kemitraan kelembagaan.
ERA REFORMASI (1998-1999)
Reformasi membawa perubahan secara dramatis dalam sistem politik dan
ketatanegaraan di Indonesia, sejalan dengan itu, terjadi perubahan dalam
sistem kepemerintahan. Namun demikian, masalah lingkungan yang dihadapi
masih berkisar pada sumber daya alam, populasi dan kerjasama
regional/internasional.
Jumlah penduduk yang meningkat memberikan tekanan yang lebih besar
kepada sumber alam, salah satu dampaknya adalah kondisi kritis sumber
daya air khususnya di pulau Jawa. Hutan semakin menurun kualitas dan
kuantitasnya akibat over exploitation dan pembakaran. Menyusutnya sumber
daya hutan diikuti pula dengan menurunnya keanekaragaman hayati, hal
yang sama juga terjadi di lingkungan pesisir dan laut. Kondisi ini
diperburuk lagi dengan menurunnya kualitas udara akibat merebaknya
industrialisasi dan perlakuan yang tidak ramah kepada atmosfer seperti
semakin banyaknya polusi yang berasal dari kendaraan bermotor.
Sementara itu, aktifitas manusia menghasilkan limbah domestik, dan
masalah ini mulai merambah perdesaan. Kepadatan perkotaan turut pula
meningkatkan beban pencemaran pada lingkungan, dampak lain dari
kepadatan kota adalah alih fungsi lahan dari pertanian menjadi
permukiman dan industri.
Ledakan jumlah penduduk memunculkan kelas masyarakat miskin, yang
diikuti dengan merebaknya permukiman kumuh, masalah kesehatan,
gelandangan, kriminalitas, dan berbagai masalah sosial lainnya.
Sementara itu, seiring dengan modernisasi, terjadi pergeseran nilai yang
bersifat tradisional agraris menuju masyarakat era indusrti yang antara
lain ditandai dengan perubahan pranata sosial, perubahan nilai-nilai
sosial. Perpindahan penduduk dari desa ke kota mengakibatkan turunnya
ketahanan ekologis perdesaan dan menaikkan tingkat kerentanan kota.
Berbagai masalah sosial di atas berdampak pada melemahnya kontrol
sosial, dan cenderung diikuti timbulnya masalah sosial psikologi dalam
masyarakat. Sementara itu, keanekaragaman kelompok dan ketimpangan
ekonomi semakin mempertinggi persaingan dan konflik kepentingan.
Berkenaan dengan itu, maka sasaran pembangunan lingkungan diarahkan pada: (i) peningkatan pengenalan jumlah dan mutu sumber daya alam serta jasa lingkungan yang tersedia, (ii) pemeliharaan kawasan konservasi, (iii) peningkatan sistem pengelolaan lingkungan, (v) pengendalian pencemaran, terutama pada daerah padat penduduk dan pembangunan, (v) pengendalian kerusakan pantai, dan (vi) peningkatan usaha rehabilitasi lahan kritis.
Berkenaan dengan itu, maka sasaran pembangunan lingkungan diarahkan pada: (i) peningkatan pengenalan jumlah dan mutu sumber daya alam serta jasa lingkungan yang tersedia, (ii) pemeliharaan kawasan konservasi, (iii) peningkatan sistem pengelolaan lingkungan, (v) pengendalian pencemaran, terutama pada daerah padat penduduk dan pembangunan, (v) pengendalian kerusakan pantai, dan (vi) peningkatan usaha rehabilitasi lahan kritis.
Memperhatikan sasaran tersebut, maka kebijakan lingkungan diarahkan
pada 6 program pokok, yaitu: (i) inventarisasi dan evaluasi sumber daya
alam dan lingkungan hidup, (ii) penyelamatan hutan, tanah dan air, (iii)
pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup, (iv) pengendalian
pencemaran lingkungan hidup,, (vi) rehabilitasi lahan kritis, dan (vi)
pembinaan daerah pantai.
Periode reformasi ini relatif terjadi dalam kurun waktu yang sangat
pendek (1998-1999) dan Kementerian Lingkungan Hidup mengalami dua
periode kepemimpinan, yaitu: Prof. Dr. Juwono Sudarsono (1998), dan dr.
Panangian Siregar (1998-1999).
PASCA REFORMASI (1999-2004)
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1999-2001)
Demi mengejar perolehan devisa negara baik pada tingkat pusat maupun
daerah, pada era itu pemanfaatan sumber daya alam cenderung kurang
memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya alam yang
berkelanjutan dan berkeadilan. Pemanfaatan sumberdaya alam berorientasi
pada kepentingan jangka pendek sehingga kurang dan tidak efisien. Di
lain pihak, adanya urgensi pemulihan ekonomi cenderung menjadi sumber
permasalahan.
Otonomi daerah telah merubah berbagai kewenangan bidang lingkungan
yang terbagi menjadi lebih besar di kabupaten/kota dibandingkan di
tingkat nasional/provinsi. Pemerintah pusat tidak lagi menjadi
pelaksana, tetapi sebagai penyusun kebijakan makro dan penetapan
berbagai norma, standar, kriteria dan prosedur dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Mengantisipasi berbagai implikasi penerapan otonomi
daerah pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup,
langkah-langkah yang diambil Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup di
antaranya adalah melakukan konsultasi dengan sektor, daerah dan para
mitra lingkungan untuk mensinergikan kewenangan, mempertegas kembali
komitmen penguatan lembaga lingkungan daerah, memperkuat kapasitas
lembaga lingkungan di daerah, dan pengembangan berbagai program
strategis seperti: Bumi Lestari, Prokasih, Adipura, Langit Biru, dan
lain-lainnya.
Secara internal, langkah-langkah strategis yang diambil Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup pada masa kepemimpinan Dr. Alexander
Sonny Keraf adalah: (i) menjaga dan meningkatkan hubungan kerja
internal; (ii) memfokuskan langkah kerja setiap unit kerja, (iii)
merumuskan berbagai kriteria, indikator, baku mutu dan pedoman; dan (iv)
melakukan inovasi bentuk-bentuk kerja sama antar sektor, antar dinas
dan stakeholders lainnya.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2001-2004)
Pada awal era ini teridentifikasi bahwa penyebab kerusakan lingkungan
bersumber dari: (i) lemahnya penguatan dan dukungan politik untuk
pelestarian lingkungan dalam proses pengambilan keputusan, (ii)
rendahnya sanksi yang dijatuhkan kepada para pelanggar peraturan di
bidang lingkungan, dan (iii) kemiskinan. Sebaran dampaknya masih
terpusat pada perusakan hutan dan lahan, pencemaran air, urbanisasi,
perusakan & pencemaran laut & pantai, dan imbas dari lingkungan
global.
Strategi yang ditempuh Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH)
pada era kepemimpinan Nabiel Makarim, MPA.MSM. ini adalah: (i)
peningkatan dan perluasan aliansi strategis dalam rangka memperoleh
dukungan dan kekuatan politik untuk pelestarian lingkungan, (ii)
pemberdayaan masyarakat sadar dan aktif berperan dalam proses
pengambilan keputusan, (iii) pengembangan prinsip “good governance”
dalam pelestarian lingkungan hidup di kalangan pemerintah
kabupaten/kota, (iv) peningkatan penaatan melalui penggunaan instrumen
hukum dan instrumen lainnya, dan (v) pengembangan kelembagaan dan
peningkatan kapasitas.
Pada awal era ini terjadi penggabungan antara Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup menjadi
Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2004-sekarang)
Pengelolaan lingkungan pada era Kabinet Indonesia Bersatu yang
dimulai pada tahun 2004 menempatkan Ir. Rachmat Witoelar sebagai menteri
pada Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Visi, misi, strategi, tujuan,
kebijakan, program, dan kegiatan KNLH merupakan fokus uraian pada
Profil Kementerian Negara Lingkungan Hidup ini.
Sumber: http://www.menlh.go.id, diakses sesuai tanggal posting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Anda merupakan jalinan persaudaraan. Terima kasih.